Rabu, 10 Agustus 2011

biofuel. .biobutanol. .ohohohoho

Biofuel adalah termasuk topik teknologi yang paling hangat didiskusikan pada saat ini di samping isu pemanasan global. Seiring dengan kesadaran bahwa minyak bumi akan habis cepat atau lambat, ide pengembangan biofuel sebagai alternatif bahan bakar muncul sejak 1970an. Sejak saat itu berbagai riset telah dilakukan guna menghasilkan teknologi yang mampu memproduksi bahan bakar dari biomassa. Indonesia yang saat ini mengalami krisis energi juga mulai giat mengembangkan biofuel. Contoh produksi biofuel misalnya bioethanol dari gula, dengan proses fermentasi oleh ragi, sejenis mikroorganisme yang umum digunakan dalam pembuatan minuman keras. Biofuel yang lain adalah biodiesel yang diolah dari minyak nabati seperti minyak kelapa sawit dan minyak biji jarak. Di Indonesia, beberapa industri biofuel sudah beroperasi seperti biodiesel di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara global, dalam lima tahun ke depan produksi bioethanol diperkirakan mencapai 27 milyar gallon per tahun, sedangkan biodiesel sebesar 4 milyar gallon per tahun.
Adapun biofuel di atas dikategorikan sebagai biofuel generasi pertama. Karakteristik biofuel generasi awal ini adalah umumnya menggunakan gula atau minyak dari tumbuhan sebagai bahan baku. Bioethanol dari pati jagung atau gula tebu dan biodiesel dari minyak tumbuhan termasuk dalam kategori ini. Keuntungan biofuel jenis ini adalah teknologinya sudah cukup maju sehingga memungkinkan produksi massal sehingga layak secara ekonomis. Namun dampak negatifnya tidak kalah besar yaitu terserapnya bahan pangan seperti pati dari jagung, gula tebu dan minyak goreng, yang menyebabkan kenaikan harga akibat supply tidak mencukupi kebutuhan pasar.
Biofuel generasi kedua hadir sebagai solusi dari dampak negatif seperti disebut di atas. Bahan baku yang digunakan adalah bahan-bahan non pangan dan limbah seperti batang padi, jerami, kertas bekas, dan bagasse (batang tebu yang telah diperas). Dalam artikelnya di majalah sains no.1 dunia Science, pakar Teknik Kimia terkemuka Gregory Stephanopoulos dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyatakan bahwa biofuel dari bahan non pangan akan menjadi trend dalam 10-15 tahun ke depan. Tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana mengolah bahan-bahan tersebut agar bisa diproses dengan teknologi biofuel yang telah ada sekarang. Misalnya bagaimana memecah selulosa di BAGASSE menjadi gula murni yang bisa difermentasi, terbebas dari zat kimia yang bisa menghambat proses fermentasi. Beberapa proses telah diteliti dan diterapkan mulai dari proses enzimatik, penggunaan asam encer pada temperature dan tekanan tinggi, dan uap.
Jika kita analisis lebih lanjut jenis biofuel yang bisa diproduksi, salah satu pilihan adalah biobutanol, sejenis alkohol seperti bioethanol. Saat ini biobutanol bisa diproduksi baik secara fermentasi maupun non-fermentasi walaupun biayanya masih lebih mahal dari produksi bioethanol. Jenis alkohol dengan empat atom karbon ini memiliki kandungan energi hampir menyamai premium, yaitu sebesar 29 MJ/liter dengan bilangan oktan 96. Nilai ini jauh di atas bioethanol sebesar 22 MJ/liter. Ron Cascone dalam artikelnya di jurnal ilmiah terkemuka Chemical Engineering Progress terbaru di bulan Agustus 2008 memaparkan banyak keuntungan biobutanol relatif terhadap bioethanol. Pertama, biobutanol memiliki beberapa karakteristik fisika dan kimia lebih mirip ke bensin. Hal ini menyebabkan tidak perlu membangun infrastruktur baru untuk transportasi. Biobutanol juga tidak larut dalam air seperti bioethanol sehingga tidak mudah menyebabkan korosi. Kedua, biobutanol dapat dicampur dengan bensin dalam kadar bervariasi. Hal yang sama tidak dimungkinkan dengan bioethanol. Campuran bioethanol bensin memiliki kadar bioethanol maksimum 10 %. Lebih daripada itu harus ada modifikasi khusus pada mesin kendaraan bermotor. Ketiga, akibat kandungan energi yang tidak jauh berbeda dengan bensin, maka bensin campur biobutanol lebih ekonomis daripada bensin campur bioethanol. Keempat, secara lingkungan biobutanol lebih aman daripada bioethanol karena jika tumpah tidak mudah mencemari air tanah akibat sifatnya yang menolak air.
Dari uraian singkat di atas maka alternatif terbaik jenis biofuel yang bisa menjadi pengganti atau aditif dari bensin adalah biobutanol. Riset biobutanol giat dilakukan di negara maju untuk menghasilkan teknologi yang bisa membuat biobutanol bersaing secara ekonomis dengan biofuel lainnya. Adapun bahan baku yang dipakai harus dari bahan non pangan. Indonesia sebagai produsen beras terbesar ke-3 dan gula tebu ke-9 dunia tentu memiliki potensi ketersediaan batang padi dan bagasse yang melimpah. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mendirikan industri biofuel generasi kedua seperti biobutanol dari bahan baku non pangan di Indonesia. Butuh investasi besar baik dana maupun sumber daya manusia yang perlu diusahakan dalam waktu dekat. Kita perlu belajar dari kesuksesan Brazil sebagai penguasa bioethanol dunia dan berswasembada energi sehingga mempunyai bargaining power ketika bernegosiasi dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar